Berdasarkan penyampaian Dr. KH. Abdul Ghofur Maimoen LC. atau yang sering dikenal dengan nama Gus Ghofur dalam pemaparan beliau pada acara Halaqoh Fikih Peradaban di Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin Balekambang Jepara Ahad (13/11) kemarin mengemukakan bahwa perdebatan tentang perpolitikan ini tidak akan pernah selesai, karena romantisme kita yang telah terbiasa hidup dalam sistem politik berabad-abad, kemudian bangunan fikih tentang perpolitikan tidak pernah selesai juga karena yang telah disepakati tidak pernah ditulis oleh ulama-ulama kontemporer dan juga tidak dibuat buku ajar seperti halnya fathul qarib.
“Tidak ada pembuatan babnya jadi, setiap saat itu selalu diperdebatkan dan timbul masalah-masalah yang membuat kita itu pusing kembali. Negara Saudi Arabia yang kita anggap tidak ada prinsip Demokrasi itu ada beberapa nilai dan keadaan yang harus tunduk kepada keputusan orang banyak, dan itu adalah salah satu unsur daripada Demokrasi.”
Demokrasi dikutip dalam KBBI adalah Pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan rakyat. Kalau rakyatnya semua ikut berperan itu berarti bagian dari Demokrasi, jadi menurut beliau baik-baik saja tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Ada beberapa gagasan yang mengutamakan persamaan hak dalam kehidupan bagi semua warga negara, ini yang mungkin secara fikih menimbulkan kontroversi dan selalu diperdebatkan karena persamaan hak antara muslim dengan non-muslim, karena dalam fikihnya masih menggunakan istilah Kafir Dzimmy, Kafir Harby, Kafir Mu’ahhad dan Kafir Musta’man yang dalam keputusan Munas di Banjar kemarin Nahdlatul Ulama’ dalam Munasnya menyampaikan bahwa kriteria-kriteria ini tidak lagi sesuai dengan kondisi warga negara yang berada di Indonesia, hingga kemudian diplesetkan tidak boleh menyebut kafir kepada orang non-muslim.
Beliau Gus Ghofur Maimoen di tengah-tengah penyampaiannya juga mengajak berfikir para hadirin dengan memberikan beberapa pertanyaan dasar;
Nabi Muhammad itu membangun sistem pemerintahan apa tidak ?
“Kalau kita langsung menuju konklusi, kita bisa merujuk kepada pendapat Imam Ibnu ‘Aqil yang sangat tegas sekali beliau mengatakan begini;
السياسة ما كان فعلا يكون معه الناس أقرب إلى الصلاح وأبعد عن الفساد وإن لم يضع الرسل ولا نزل به الوحي
“Politik itu tentang bagaimana agar masyarakat menjadi baik, dan jauh dari kerusakan, meski itu tidak pernah dipraktikkan para Rasul dan meski itu tidak pernah diwahyukan.”
Jadi kalau kita menggunakan kesimpulan seperti yang dikatakan Imam Ibnu ‘Aqil jadi sudah selesai tidak ada yang dipermasalahkan. Meski itu ada pembatasan jabatan 5 tahun dan itu juga tidak diterapkan oleh Rasul dan tidak diwahyukan, jadi kalau hal itu dapat memberikan kemaslahatan kenapa tidak.”
Beliau juga menganalogikan Islam dan Demokrasi itu seperti orang nikah, “Orang itu kalau dinikahkan Ankahtuka wazawwajtuka kemudian suami sudah menjawab Qabiltu Nikakhaha itu kan berarti sudah sah dan menerima ini sebagai pasangan (suami istri) secara garis besarnya, tapi nanti jika sudah jadi suami istri ada gegernya, karena itu pernik-pernik nikah dan tidak seperti globalnya Qabiltu Nikakhaha. Persis seperti ketika kita menerima Demokrasi, itu tidak masalah tapi nanti jika didetailkan dalamnya banyak yang marah banyak yang tidak setuju bikin geger dan seterusnya.
Kemudian beliau melanjutkan pertanyaan-pertanyaannya lagi untuk mengajak berfikir para hadirin;
Apakah Nabi pernah menjadikan menteri-menteri ?; Apakah Nabi pernah membuat Pihak keamaaan seperti Polisi ?; Apakah Nabi pernah mencetak uang ? Hal-hal inilah kemudian yang disebut dengan pernak-perniknya yang ketika di dalami akan ada perdebatan-perdebatan dan perbedaan.
Mana yang lebih baik ?; seseorang mengambil kekuasaan dengan kekuatan militer atau sesorang menguasi kekuasaan melalui pemilihan, mana yang lebih baik ?. Karena dalam praktik sejarah kehilafahan sampai tahun 1924 M, pemimpin itu tidak dipilih, tapi pemimpin itu menguasai dengan paksa atau pemimpin itu mendapatkan warisan, pertanyaannya mana yang lebih baik. Kalau jawabannya yang kedua Demokrasi dapat poin, jadi dengan itu hampir tidak ada Bupati itu ngeroyok itu tidak ada.
kemudian beliau kembali melanjutkan pertanyaan kepada peserta halaqoh, mana yang mendekati kepada keadilan dan rasa kemanusiaan menjadi pemimpin seumur hidup sampai mati kalau umurnya panjang atau kita batasi hanya 5 tahun. Mana yang mendekati kepada prinsip-prinsip Islam yang adil dan lebih mementingkan kebersamaan, Apakah Saudi apakah Pemilihan ?. Kalau jawabannya yang kedua menurut saya Demokrasi tentang ini itu ada pintu masuk dan yang seperti ini ada di prinsip-prinsip Demokrasi.
“Kita berharap yang seperti itu (Pembahasan Demokrasi) itu ditulis oleh para Ulama’ Mu’ashirah (Ulama masa kini) dalam bab apa, lalu dibaca kaya baca kitab Fathul Qarib itu loh, sehingga kalau santri-santri kita bahas (Demokrasi) itu enak nggak pusing kepalanya, Demokrasi sudah ada di Bab apa gitu sudah ada di Syarahnya Fathul Qarib gitu loh saya seneng kalau ada Syarah Fathul Qarib yang modern. Kalau sudah ada turotsnya kita jelasannya enak mudah gitu, selama ini kita menjelaskan tentang Politik itu susah perlu Halaqah.” Tutur Gus Ghofur Maimoen. (ka)