(Meneladani Sosok KH. Hasbulloh dan KH. Abdulloh Hadziq)
BALEKAMBANG-Rabu, (15/05/19) Sebagai bentuk ta’dzim kepada para masyayikh pondok pesantren Roudlotul Mubtadi’in Balekambang menyelenggarakan acara “ haul“ pendiri pondok pesantren Balekambang yakni Simbah KH. Hasbulloh ke-76 dan KH. Abdullah Hadziq ke-34 serta KH. Muhammad Zumar, putra terakhir KH. Abdulloh Hadziq yang ke-1. Acara ini dihadiri oleh segenap keluarga, para masyayikh, asatidz wal ustadzah, alumni, masyarakat umum, serta seluruh santri ponpes Balekambang.
Pada Tahun 1884, seorang kiyai kharismatik bernama simbah KH. Hasbulloh mendirikan sebuah surau kecil di kampung Balekambang, Desa Gemiring Lor, kecamatan Nalumsari, Jepara. KH. Hasbulloh adalah warga lokal.
Pada masa itu penduduk setempat masih belum berislam secara baik meskipun sudah ada para pendakwah sebelumnya. Mereka sebetulnya telah mengenal ajaran islam, namun rata-rata tidak mendalam. Sholat lima waktu adalah barang mewah yang hanya dimiliki keluarga kiyai saja.
Di Kabupaten Jepara, Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin merupakan pesantren tertua yang tercatat dalam sejarah. Secara tradisional masyarakat menyebutnya sesuai tempat keberadaannya yaitu Pesantren Balekambang.
KH. Hasbulloh yang oleh masyarakat sekitar dipanggil dengan mbah Hasbulloh merupakan tokoh kharismatik pada masanya. Ia dikenal sebagai seorang yang sangat alim, wirai, dan zuhud. Ia dikenal sangat gigih memperjuangkan dan menyebarkan agama islam dengan cara yang konsisten mengajar mengaji dari masjid ke masjid dan dari langgar ke langgar tanpa lelah meskipun berjalan kaki.
Sebagaimana kebanyakan tokoh islam pada masa itu, mbah Hasbulloh juga anti Belanda. Hal itu diketahui oleh pihak Belanda yang beberapa kali menerima laporan ada pembuat onar yang disebut-sebut murid mbah Hasbulloh.
Dikisahkan, pada suatu ketika mbah Hasbulloh ditangkap Belanda dan akan di bawa ke salah satu kantor administratur Belanda di Pecangaan, 7 kilometer dari Balekambang. Saat beliau hendak dibawa ke kantor dengan motor roda tiga, kendaraan itu selalu mati saat keluar area pesantren. Bila motor berbalik ke arah pesantren mesinnya kembali hidup, tetapi apabila mencoba keluar pesantren tiba-tiba mati. Begitu terjadi berulang-ulang sampai akhirnya serdadu belanda melepas kembali mbah Hasbulloh dengan cara ditendang hingga terlempar dari motor.
Kesaktian tokoh ini memang cukup dikenal saat itu. Menurut cerita tutur lainnya, sebagaian santri yang belajar kepada mbah Hasbulloh adalah kalangan jin. Santri jin itu terus bertahan hingga era berikutnya saat pesantren dipimpin putra mbah Hasbulloh, KH. Abdullah Hadziq. Pada masa itu jin-jin dipindahkan di sisi sungai yang berada tepat di timur pesantren karena sering bermasalah dengan santri manusia.
Kisah-kisah seperti ini banyak mengiringi perjuangan mbah Hasbulloh membuka daerah Balekambang. Balekambang adalah daerahnya para pencoleng. Konon beliau sangat dibenci dan sering dicemooh oleh warga sekitar yang tidak menyukai ia menentang kebiasaan hidup warga lokal yang tidak agamis.
Pada suatu ketika mbah Hasbulloh dicari oleh salah satu pentolan berandal setempat. Namun saat bertemu berandalan tersebut tiba-tiba tunduk dan diam saja di hadapan mbah Hasbulloh.
Setelah mbah Hasbulloh wafat, tonggak kepemimpinan Pondok Pesantren Balekambang dilanjutkan oleh putra beliau, KH. Abdulloh Hadziq. Tidak jauh berbeda dengan mbah Hasbulloh. Mbah Abdullah juga dikenal sebagai sosok yang wira’i dan zuhud terhadap dunia.
“Gadah dunya tapi atine ora kumantil marang dunya”. Itulah istilah yang digambarkan para santri dan masyarakat terhadap sifat zuhud mbah Abdullah. Kezuhudan mbah Abdullah membuat hidupnya sederhana.
“Di kalangan masyarakat, Mbah Abdulloh sering dikenal sebagai wali atau kyai. Namun beliau tidak mau dipanggil wali ataupun kyai. Beliau hanya ingin dipanggil mbah,” ungkap Sa’ad salah satu santri beliau.
Mbah Abdullah wafat pada Jum’at, 10 Romadhon 1985. Saat itu santri sedang sahur, sekitar jam empat pagi. Sebelum wafat ia berwasiat agar makamnya nanti tidak dikijing dan bila melaksanakan haul baiknya mengkhatamkan Al-Qur’an.
KH. Abdullah Hadziq bin Hasbulloh Balekambang, Nalumsari, Jepara, merupakan sosok ulama yang disebut-sebut Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan sebagai waliyullah alim-allamah tapi tetap selalu berpenampilan sederhana karena punya rutinitas pergi ke pasar secara mandiri, bertopi leken dan bercelana, serta naik dokar demi memenuhi kebutuhan rumah tangga dan santri-santrinya.
Mbah Dullah -panggilan akrab KH Abdullah Hadziq-, menurut Habib Luthfi, pernah ngaji selama 12 tahun di Makkah kepada Syaikh Mahfud at-Tarmasi, Syeikh Dimyathi dan juga Syeikh Nahrawi al-Makkiy, mursyid thariqah Syadziliyah, dan ulama masyhur tanah Haramain lainnya.
Oleh Habib Luthfi, selain Mbah Malik (Purwokerto), Mbah Dullah Balekambang adalah sosok guru yang dianggap sebagai bapak, mengingat di masa kecilnya, Habib Luthfi pernah “dimomong ngaji” Mbah Dullah selama dua tahun di Pesantren Balekambang dari tahun 1961, saat usia 13 tahun. Meski begitu, Habib Luthfi adalah mursyid thariqah Mbah Dullah.
Singkat cerita, ketika hendak bai’at thariqah kepada Syeikh Nahrawi al-Makky dan Syeikh Mahfudz at-Tarmasiy, Mbah Dullah tidak langsung mendapatkan ijin. Oleh Syeikh Nahrawi, Mbah Dullah diberitahu bahwa mursyid beliau saat itu belum lahir dan masih dalam kandungan ibunda.
“Mursyidmu nanti adalah cucu dari Habib Hasyim bin Umar bin Thaha bin Yahya Pekalongan. Carilah,” demikian kata Syeikh Nahrawi.
Karena diperintah guru, Mbah Dullah Balekambang akhirnya mencari calon mursyidnya tersebut, dan bersilaturrahim dengan Habib Hasyim. Setelah mengutarakan tujuan dan tujuan Mbah Dullah kepada Habib Hasyim, maka dipanggillah putra-putranya untuk ditanya; siapa yang istrinya mengandung, ternyata Habib Ali bin Yahya, yang di kemudian hari, -setelah lahir seorang putra dari istrinya-, diberi nama Muhammad Luthfi.
Saat bertemu itulah, Mbah Dullah meminta kepada Habib Ali bin Yahya agar ketika sudah mukallaf Habib Luthfi muda dipondokkan di Pesantren Balekambang meski sebentar. Dan setelah Habib Luthfi memasuki usia baligh, Mbah Dullah pun benar-benar berbai’at thariqah kepada Habib Luthfi.
Habib Luthfi mengenang, Mbah Dullah adalah sosok kyai yang “open dan telaten” kepada para santrinya. Jika ada waktu senggang, para santri dibuat senang dengan diajak mayoran (makan-makan) hingga menjadi sebuah tradisi yang ditunggu-tunggu para santri Pesantren Balekambang.
NU dan Jimat Pengaman Logistik
Pada masa kolonial dan awal kemerdekaan, Mbah Dullah juga dikenal sebagai penggerak pejuang NU di tahun-tahun awal berdirinya. Saat meletus perang 10 November 1945 (pasca Fatwa Resolusi Jihad 22 Oktober), Mbah Dullah ditunjuk guru beliau, Rais Akbar NU KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) sebagai penyedia dan pengaman logistik para pejuang yang ada di Surabaya.
Agar pengiriman logistik aman sampai tujuan dan aman sentosa, Mbah Dullah dibekali Mbah Hasyim sebuah jimat yang membuat tentara NICA pimpinan Inggris terbutakan matanya. Pengabdian kepada NU sebagai penggerak inilah yang membuat pengaruh Mbah Dullah di Jepara kala itu makin disegani.
Jadi, selain ulama yang alim allamah, Mbah Dullah adalah pejuang, yang dalam buku sejarah lokal daerah pun, belum/tidak tertulis kiprah besarnya. Padahal bukti masih bisa dideteksi jika mau. Meski begitu, tampilan kesederhanaan beliaulah yang membuat orang segan dan hormat. (DNS/BBQ)