JEPARA – Banyak kekurangpahaman para sejarawan memandang pesantren hanya sebagai tempat golongan agamawan. Selain tempat mengaji, pesantren juga menjaga tradisi leluhur dan persemaian para bangsawan kerajaan untuk mengomunikasikan titah kerajaan untuk menyejahterahkan umat secara langsung.
Karena itu, sesepuh pesantren disebut kiai, yaitu sebutan terhormat dari kerajaan, sehingga secara historis pesantren memiliki kekuatan sosial dan budaya yang sinergis dengan pemerintahan dalam membangun bangsa dan negara.
Pesantren berperan besar dalam menjaga kelanggengan NKRI. Hal itu dikemukakan penulis buku Atlas Walisongo yang juga Ketua PP Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia NU (Lesbumi NU), KH Prof Dr Agus Sunyoto pada Seminar Kebangsaan dalam Rangka Harlah Ke-135 Ponpes Roudlotul Mubtadiin Balekambang, Nalumsari, Jepara, Kamis (27/12).
Kegiatan itu diikuti keluarga besar NU Kabupaten Jepara dan dihadiri perwakilan PCNU Jepara, MWC NU se-Kabupaten Jepara, PC GPAnsor, PC Fatayat NU, RMI dan perwakilan ponpes, serta PC LP Ma’arif NU beserta guru SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK.
Peran Strategis
Agus Sunyoto memaparkan, pesantren mempunyai peran strategis ikut memerdekakan Bangsa Indonesia dan membangun rakyat kecil di pedesaan. Perjuangan kiai-kiai pesantren dalam perjuangan melawan penjajah bisa dilihat dari banyaknya para kiai melawan Belanda sebagaimana catatan harian Belanda yang tersimpan di perpustakaan Leiden.
Dosen Sejarah Program Doktor UIN Malang itu menjelaskan, perjuangan pesantren dalam peperangan dan perlawanan terhadap Belanda sebanyak 112 kali dalam setahun.
Pada 1943 sebanyak 20 kiai menjadi komandan PETAdari 66 batalyon Jawa dan tiga batalyon di Pulau Bali. Pada 1944 dibentuk Lasykar Hizbullah dengan mayoritas komandan para kiai pesantren.
“Ini adalah cikal bakal berdirinya Tentara Keamanan Rakyat (TLR) pada 1945 yang merupakan cikal bakal lahirnya TNI,” papar penulis buku Fatwa & Resolusi Jihad- Sejarah Perang Rakyat Semesta di Surabaya 10 Nopember 1945 itu.
Momen sejarah yang tidak bisa dihapus, menurutnya, saat terjadi resolusi Jihad 22 Oktober 1945, yang difatwakan oleh Pendiri NU KH Muhammad Hasyim Asy’ari, yang memunculkan gerakan perlawanan rakyat kepada NICA pada 10 November 1945.
Perang yang menewaskan petinggi militer tentara sekutu dari Inggris, Brigadir Jendral Malabi, kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan.
Dalam dialog yang dimoderatori Wakil Ketua PCNU Jepara Hisam Zamroni, Dr Agus Sunyoto, juga memaparkan perjuangan kerajaan di Jepara dalam melawan penjajah asing. Bahkan, banyak kiai dan pemimpin pesantren di Kabupaten Jepara juga menjadi pejuang kemerdekaan.
Kepada generasi muda, dia berharap agar mempelajari sejarah dari sumber yang benar. Kepada para ahli sejarah, dia juga mengimbau agar dapat menyajikan fakta sejarah dengan bahasa yang populer dan enak dibaca para pemuda.
Direktur Ma’had ‘Aly Ponpes Balekambang KH Dr Nasrullah Afandi MA dalam sambutannya mengatakan, pondok pesantren merupakan miniatur Indonesia. Dan, Indonesia merupakan pesantren besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketua Pengurus Ponpes Balekambang KH Mustamir Wildan mengatakan, dalam rangkaian menyambut Hari Lahir Ke-135 Ponpes Balekambang, telah diagendakan sejumlah kegiatan dengan puncak pada 4 Januari, Balekambang Bershalawat, yang akan dihadiri Habib Luthfi bin Yahya (Pekalongan), Kapolri dan Panglima TNI. (kar-27/Suara Merdeka)